Selasa, 31 Desember 2019

Perang Diponegoro Melawan Belanda

Perang Diponegoro yang juga dikenal dengan sebutan Perang Jawa (Belanda: De Java Oorlog) adalah perang besar dan berlangsung selama lima tahun (1825-1830) di Pulau Jawa, Hindia Belanda (sekarang Indonesia). Perang ini merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami oleh Belanda selama masa pendudukannya di Nusantara, melibatkan pasukan Belanda di bawah pimpinan Jendral De Kock yang berusaha meredam perlawanan penduduk Jawa di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro. 

Memasuki abad ke-19, keadaan di Jawa khususnya di Surakarta dan Yogyakarta semakin memprihatinkan. Campur tangan kolonial itu juga membawa pergeseran adat dan budaya keraton yang sudah lama ada di keraton bahkan melahirkan budaya Barat yang tidak sesuai dengan budaya Nusantara, seperti minum-minuman keras. Dominasi pemerintahan kolonial juga telah menempatkan rakyat sebagai objek pemerasan, sehingga semakin menderita
 Perang Diponegoro yang juga dikenal dengan sebutan Perang Jawa  Perang Diponegoro Melawan Belanda
Perubahan pada masa Van der Capellen juga menimbulkan kekecewaan. Beban penderitaan rakyat itu semakin berat, karena diwajibkan membayar berbagai macam pajak, seperti: (a) welah-welit (pajak tanah), (b) pengawang-awang (pajak halaman kekurangan), (c) pecumpling (pajak jumlah pintu), (d) pajigar (pajak ternak), (e) penyongket (pajak pindah nama), dan (f) bekti (pajak menyewa tanah atau menerima jabatan).

Dalam suasana penderitaan rakyat dan kekacauan itu tampil seorang bangsawan, putera Sultan Hamengkubuwana III yang bernama Raden Mas Ontowiryo atau lebih terkenal dengan nama Pangeran Diponegoro. Pangeran Diponegoro merasa tidak puas dengan melihat penderitaan rakyat dan kekejaman serta kelicikan Belanda. Pangeran Diponegoro berusaha menentang dominasi Belanda yang kejam dan tidak mengenal perikemanusiaan. Tanggal 20 Juli 1825 meletuslah Perang Diponegoro.

Beberapa penyebab meletusnya Perang Diponegoro antara lain sebagai berikut.
  1. Pangeran Diponegoro tersingkirkan dari elite kekuasaan, karena tidak mau bekerja sama dengan pemerintah kolonial.
  2. Pemerintah kolonial melakukan provokasi dengan sengaja membuat jalan yang menerobos/melewati makam leluhur Pangeran Diponegoro.
  3. Masyarakat dibelit oleh berbagai bentuk pajak dan pungutan yang menjadi beban untuk masyarakat.
  4. Pihak keraton Yogyakarta tidak mampu menghadapi campur tangan politik pemerintah kolonial.
  5. Orang kraton hidup mewah dan tidak acuh terhadap penderitaan rakyat.

Berawal dari insiden pemasangan patok di tanah miliki Pangeran Diponegoro inilah meletus Perang Diponegoro. Pertempuran sengit antara pasukan Diponegoro dengan serdadu Belanda tidak dapat dihindarkan. Tegalreja dibumi hangus. Dengan berbagai pertimbangan, Pangeran Diponegoro dan pasukannya menyingkir ke arah selatan ke Bukit Selarong.

Dari Selarong, Pangeran Diponegoro menyusun strategi perang. Dipersiapkan beberapa tempat untuk markas komando cadangan. Kemudian Pangeran Diponegoro menyusun langkah-langkah.
  1. Merencanakan serangan ke keraton Yogyakarta dengan mengisolasi pasukan Belanda dan mencegah masuknya bantuan dari luar. 
  2. Mengirim kurir kepada para bupati atau ulama agar mempersiapkan peperangan melawan Belanda.
  3. Menyusun daftar nama bangsawan, siapa yang sekiranya kawan dan siapa lawan. 
  4. Membagi kawasan Kesultanan Yogyakarta menjadi beberapa mandala perang, dan mengangkat para pemimpinnya. 

Sebagai pucuk pimpinan Pangeran Diponegoro didampingi oleh Pangeran Mangkubumi (paman Pangeran Diponegoro), Ali Basyah Sentot Prawirodirjo sebagai panglima muda, dan Kiai Mojo bersama murid-muridnya. Nyi Ageng Serang bersama cucunya R.M. Papak bergabung bersama pasukan Pangeran Diponegoro.

Pada tahun-tahun awal Pangeran Diponegoro mengembangkan semangat “Perang Sabil”, perlawanannya berjalan sangat efektif. Beberapa pos pertahanan Belanda dapat dikuasai. Perlawanan Pangeran Diponegoro terus meningkat. Beberapa pos pertahanan Belanda dapat dikuasai. Pergerakan pasukan Pangeran Diponegoro meluas ke daerah Banyumas, Kedu, Pekalongan, Semarang dan Rembang. Kemudian ke arah timur meluas ke Madiun, Magetan, terus Kediri dan sekitarnya. 

Perang yang dikobarkan oleh Pangeran Diponegoro telah mampu menggerakkan kekuatan di seluruh Jawa. Oleh karena itu, Perang Diponegoro sering dikenal dengan Perang Jawa. Semua kekuatan dari rakyat, bangsawan dan para ulama bergerak untuk melawan kekejaman Belanda.

Menghadapi perlawanan Diponegoro yang terus meluas itu, Belanda berusaha meningkatkan kekuatannya. enderal de Kock sebagai pemimpin perang Belanda berusaha meningkatkan kekuatannya. Untuk menambah kekuatan Belanda, juga didatangkan bantuan tentara Belanda dari Sumatera Barat.

Dengan strategi “Benteng Stelsel” sedikit demi sedikit perlawanan Diponegoro dapat diatasi. Dalam tahun 1827 perlawanan Diponegoro di beberapa tempat berhasil dipukul mundur oleh pasukan Belanda, misalnya di Tegal, Pekalongan, Semarang, dan Magelang. Masing-masing tempat dihubungkan dengan benteng pertahanan. Di samping itu Magelang dijadikan pusat kekuatan militer Belanda.

Dengan sistem “Benteng Stelsel” ruang gerak pasukan Diponegoro dari waktu ke waktu semakin sempit. Para pemimpin yang membantu Diponegoro mulai banyak yang tertangkap. Sementara itu pasukan Diponegoro di bawah Sentot Prawirodirjo justru berhasil menyerang benteng Belanda di Nanggulan (daerah di Kulon Progo sekarang). Dalam penyerangan ini berhasil menewaskan Kapten
Ingen.

Pasukan Belanda dikonsentrasikan untuk mendesak dan mempersempitkan ruang gerak pasukan Sentot Prawirodirjo dan kemudian mencoba untuk didekati agar mau berunding. Ajakan Belanda ini berkali-kali ditolaknya. Belanda kemudian meminta bantuan kepada Aria Prawirodiningrat untuk membujuk Sentot Prawirodirjo. Pertahanan hati Sentot Prawirodirjo pun luluh, dan menerima ajakan untuk berunding. Pada tanggal 17 Oktober 1829 ditandatangani Perjanjian Imogiri antara Sentot Prawirodirjo dengan pihak Belanda. Isi perjanjian itu antara lain:
  1. Sentot Prawirodirjo diizinkan untuk tetap memeluk agama Islam,
  2. Pasukan Sentot Prawirodirjo tidak dibubarkan dan ia tetap sebagai komandannya,
  3. Sentot Prawirodirjo dengan pasukannya diizinkan untuk tetap memakai sorban,
  4. Sebagai kelanjutan perjanjian itu, maka pada tanggal 24 Oktober 1829 Sentot Prawirodirjo dengan pasukannya memasuki ibu kota negeri Yogyakarta untuk secara resmi menyerahkan diri.

Penyerahan diri atau tertangkapnya para pemimpin pengikut Pangeran Diponegoro, merupakan pukulan berat bagi perjuangan Pangeran Diponegoro. Namun pasukan di bawah komando Diponegoro terus berjuang mempertahankan tanah tumpah darahnya. Belanda kemudian mengumumkan kepada khalayak pemberian hadiah sejumlah 20.000 ringgit bagi siapa saja yang dapat menyerahkan Pangeran Diponegoro baik dalam keadaan hidup maupun mati. Tetapi nampaknya tidak ada yang tertarik dengan pengumuman itu.

Pada tanggal 28 Maret 1830 perundingan berikutnya dilakukan di rumah Residen Kedu. Perundingan tidak mencapai kata sepakat. Jenderal De Kock ternyata mengingkari janjinya karena pada saat Pangeran Diponegoro hendak meninggalkan meja perundingan, beliau ditangkap oleh pasukan Belanda. Hari itu juga Pangeran Diponegoro diasingkan ke, kemudian dibawa ke Gedung Karesidenan Semarang, dan langsung ke Batavia menggunakan kapal Pollux pada 5 April.

Pada tanggal 11 April 1830 sampai di Batavia dan ditawan di Stadhuis. Sambil menunggu keputusan penyelesaian dari Gubernur Jenderal Van den Bosch. Tanggal 30 April 1830 keputusan pun keluar. Pangeran Diponegoro serta para pengikut akan dibuang ke Manado. 3 Mei 1830 Diponegoro dan rombongan diberangkatkan dengan kapal Pollux ke Manado dan ditawan di benteng Amsterdam. Pada tahun1834 dipindahkan ke benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan. Pada 8 Januari 1855 Pangeran Diponegoro wafat dan dimakamkan di Makassar.